Tahun 1930-an di Kebumen sudah ada pabrik rokok siong (klembak menyan). Dan sejak tahun 1950 Gombong muncul dengan produksi sejeni dengan merk Sintren, Bangjo dan Togog yang dirintis oleh pasangan suami istri The Tjoan (Agus Subianto) dan Tjo Goe Nio (Setiawati).
Keluarga ini dikaruniai 9 anak yakni : Budi Susanto (The Tiong Lie), Haryanto (The Tiong Yan), Karuna Budiyanto (The Tiong Wan), Budi Hartono ( (The Tiong Hien), Adi Hartanto (The Tiong An), Edi Hendrawanto ( The Tiong Hoo), Laniwati, dan si bungsu Rudianto (The Tiong Kin).
|
Karyawan pabrik rokok Sintren, Bangjo dan Togog tata-rata diatas usia 65 tahun bahkan ada yang 85 tahun. Mereka tekun bekerja di tempat ini selama puluhan tahun. (SH)
|
Namun dari sembilan anaknya itu hanya tiga yang meneruskan usaha orangtuanya itu yakni Budi Susanto yang mengelola rokok Togog, Edi Hartanto mengelola rokok Sintren dan Adi Handrawanto mengelola rokok Bangjo.
Sang ayah Agus Subianto merintis usaha rokok klembak menyan sejak tahun 1950 dengan merek Sintren. Dalam perkembangannya ia juga mengibarkan merek baru yakni Bangjo dan Togog. Pemasarannya bukan hanya sebatas di pulau Jawa namun merambah ke Sumatera khususnya propinsi Jambi. Produk yang dijual dengan kemasan isi 6 batang dan 10 batang. Bungkusnya pun masih sederhana dengan kertas tipis tembus pandang.
Produksinya amat disukai oleh penggemar rokok klembak menyan saat itu. Bahkan perusahaannya amat populer dan sempat menyerap 1000 karyawan.
Seiring dengan perkembangan jaman dimana produk rokok mengalami pergeseran dari klembak menyan berkembang ke kretek (cengkeh) hingga rokok mentol berdampak para produksi rokok siong. Popularitas rokok siong ini sampai pada tahun 1985. Banyak perokok yang mulai beralih ke kretek dan menthol. Produk rokok klembak menyan pun semakin menurun.Bahkan di Indonesia barangkali kini hanya Gombong yang mempertahankan rokok siong ini.
Dikatakan oleh Budi Santoso (66) anak sulung Agus Subianto bahwa komsumen rokok siong hingga saat ini masih ada meski jumlahnya tidak seperti dulu lagi. Pelanggan rokok merk Sintren antara lain meliputi Kebumen, Kroya, Purwokerto dan Gombong. Untuk pemasaran rokok cap Togog meliputi wilayah utara yakni Purbalingga, Magelang hingga Wonosobo.
Untuk Bangjo antara lain Purwokerto, Sidareja, Majenang dan Ajibarang. Sedang untuk luar Jawa ke propinsi Jambi yang tetap bertahan hingga kini. Selain dirokok ada juga yang untuk kebutuhan sesaji bagi kalangan tertentu terutama didaerah pedesaan.
|
Mesin pemotong klembak. Mesin pemotong tembako. |
Budi memahami menurunnya peminat rokok siong karena berbagai faktor. Diantaranya munculnya jenis baru yang mendapat respon positip dari masyarakat yakni rokok berbahan baku cengkeh maupun rokok menthol, rokok siong dengan bahan baku klembak dan menyan ini juga sudah mulai ditinggalkan oleh penggemarnya yang rata-rata usia tua yang jumlahnya terus menurut.
|
- Diman (65) pemotong kertas pembungkus rokok (papir).
- Pabrik rokok siong Sintren, Bangjo dan Togog di jalan Puring No 25 Wanakriya, Gombong.
|
Meski sudah diterjang berbagai jenis rokok baru dengan kemasan modern, namun ketiga rokok siong ini masih bertahan meski dengan tingkat produksi sudah tidak seperti dulu lagi. Ketiganya menyerap sekitar 150 karyawan. Sintren 80 karyawan, Bangjo 50 karyawan dan sekitar Togog 20 karyawan. Mereka terdiri dari lanjut usia antara 65-85 tahun yakni Nyi Sakiem.
Memasuki ruang produksi rokok Sintren ini sepertinya kita mengunjungi Panti Jompo ( Manula). Yang mengagumkan, meski rata-rata berusia senja namun mereka nampak semangat dan bahkan tak jarang dalam kesibukkannya diselingi dengan candaria. Dan bekerja sebagai tukang linting rokok ini sudah dijalankan puluhan tahun seusia berdirinya pabrik ini.
Selain untuk penghasilan, bagi mereka juga untuk kegiatan sehingga tidak merasa jenuh apabila tinggal di rumah. Soal penghasilan bagi mereka amat relatif, karena bekerja dengan sistem borongan. Untuk bekerja setengah hari mereka bisa melinting sekitar 800 batang. Dengan begitu bisa mendapatkan sekitar Rp 16.000,- Rp. 20.000,- tergantung banyaknya rokok yang dilinting.
Menurut staf kantor yakni Yanti dan Nurseptiani, karyawannya pun tidak hanya dari masyarakat sekitar. Namun banyak pula dari desa lain seperti: Jatinegara, Kalibeji, Sidoarum, Purbowangi, Sempor, Banjareja, Kuwaru, Serut, dan ada pula yang dari Kuwarasan.
Rokok Sintren, Bangjo dan Togog ini tergolong unik karena tetap bertahan disaat harga bahan baku dan kebutuhan hidup terus melonjak naik. Untuk satu bungkusnya dijual sesuai dengan harga bandrol yakni Rp 2100,- dengan isi 10 batang.
“Selain itu juga ada yang mengatakan merokok menyan seperti mengundang roh halus. Jadi anak muda tidak tertarik,” ujar Edy. Sebagai pewaris usaha orang tua, baik Budi maupun Edy tetap optimis bahwa rokok siong ini masih diminati masyarakat terutama di daerah pelosok pedesaan. Selain itu, rokok siong ini juga masih dibutuhkan oleh masyarakat tertentu untuk keperluan sesaji dalam upacara pengiriman doa seperti selamatan maupun perayaan hari besar seperti selamatan, sedekah bumi maupun sedekah laut.
|
Yanti, Nur dan karyawan lainnya yang sudah puluhan tahun bekerja di tempat ini. |
Dulu sebenarnya sudah mencoba untuk memproduksi rokok cengkeh. Namun tidak bertahan lama karena ketatnya persaingan. Sedangkan saat ini persaingan kecil namun peminatnya yang menurun. Meski demikian Budi maupun Edy bersyukur bisa mempertahankan eksistensi perjuangan orangtuanya yang merintis dan membesarkan usahanya dengan membuka usaha rokok siong ini. Gombong maupun Kabupaten Kebumen mencuat di tingkat nasional juga salah satunya karena produksi rokoknya.