Seksualitas merupakan salah satu pertanda dari peradaban. Manusia sudah demikian maju dari sekedar memuaskan naluri kebinatangan yang bersifat badaniah ke berbagai keintiman cinta, dengan segala kemesraan, kelembutan, sensualitas dan keceriaannya. Peningkatan kualitas pada seksualitas sering merupakan konsekuensi alami dari peradaban yang stabil, matang dan canggih. (Seni & Mitos Seksualitas Cina Kuno, Quills Book Publisher, 2007).
Perjalanan peradaban manusia tidak pernah bisa dipisahkan dari seks, mengingat seks sebagai salah satu cara untuk meraih kebahagian sekaligus sarana untuk meneruskan keturunan. Sudut pandang dan pemahaman manusia tentang seks berbeda-beda menurut adat kebudayaannya masing-masing. Hal ini terungkap dari temuan manuskrip-manuskrip sastra yang memuat tentang ajaran seksologi di berbagai negara. Dari berbagai temuan dari peradaban dunia, India dan Cina dianggap sebagai negara yang dengan jelas menuliskan tentang seks sebagai seni bercinta adalah kegiatan ritual mistis sebagai bagian dari harmoni kehidupan. Bahkan kitab-kitabTantradari India dengan gamblang mengambarkan berbagai posisi dalam hubungan seksual pada relief-relief candi. Ini pun juga terekam dengan jelas pada lukisan-lukisan kuno Cina yang disebut sebagaiSeni Kamar Tidur. Perbedaan pemahaman tentang seks antara India dan Cina terletak pada paradigma, dalam Tantrisme mengarah sebagai ritual keagamaan yang bersifat sakral sedangkan kebudayaan Cina memandang sebagai kegiatan pragmatis keduniawian yang mengarah pada ketenangan, kebahagian dan kesehatan.
Di Indonesia (peradaban Jawa), temuan tertua mengenai seks berada di Candi Sukuh, Karanganyar. Kebudayaan Hindu yang pada waktu itu menjadi sentral tentang ajaran seks terlihat pada patung lingga-yoni sebagai menifestasi alat kelamin pria dan wanita. Pemahaman dan filosofis dari seks ini lebih lanjut terurai pada masa kerajaan Kasunanan Surakarta dengan diciptakannya Serat Centini dan Serat Nitimani. Dari sini dapat disimpulkan bahwa orang Jawa dahulu telah mempunyai pemahaman akan seni bercinta dengan baik, ditunjukan dengan berbagai macam tata cara dan posisi seks yang tidak menyimpang atau menjijikkan dalam kaidah kesehatan modern saat ini.
Serat Centini sebagai ensiklopedia kebudayaan Jawa memasukkan seks menjadi bagian dari tata cara dan ritual kehidupan yang selaras. Serat Centini dan Serat Nitimani menuliskan hakikat kegiatan seks sebagai sarana untuk meneruskan keturunan. Etika dan tata cara melakukan hubungan seks dibuat dengan tujuan sebagai sarana kebahagian dan juga untuk meningkatkan harkat dan martabat pelaku. Sisi religius dari seks digambarkan dengan adanya mantra-mantra saat melakukan kegiatan tersebut sebagai upaya atau doa agar mendapatkan keturunan yang baik. Seluruh ajaran tersebut disampaikan dalam bentuk tembang Macapat, sehingga ketika disampaikan dalam bentuk arahan atau piwulang orang tua terhadap anak tidak berkesan vulgar.