Siranda Reservoir merupakan sebuah penampungan air yang dibangun pada masa pemerintahan Hindia Belanda (penjajahan Belanda di Indonesia). Reservoir ini berada di Jalan Diponegoro (dahulu disebut Jalan Wungkal) yang menghubungkan alun-alun Simpang Lima dengan Taman Dionegorodi kawasan Candi.
Terdapat dua bangunan di kompleks ini, sebuah bangunan sebagai tempat penampungan air dan yang lain sebagai kantor penjaga reservoir, ruang kontrol, serta sebagai laboratorium tingkat kesehatan air di dalam bak penampungan.
Bangunan pertama merupakan bak penampung air berukuran besar. Jika dilihat lebih jelas tampak sebuah gundukan tanah (menyerupai kubah dengan kopula berada tepat di tengahnya) yang bagian sampingnya dikelilingi dinding bata dengan ketinggian gundukan mencapai 4,7 meter dan diameter 32 meter. Pada salah satu dinding dan gerbang depan terdapat tulisan berupa angka “1912” yang diyakini sebagai tahun pembangunan bak penampungan air ini. Bak penampungan ini memiliki luas total + 2500 m2 dan mampu menampung air bersih sekitar 3750 m3.
Bangunan kedua berupa sebuah rumah tinggal dengan ketinggian bangunan sekitar 2,5 meter dan diameter 20 meter. Pada salah satu dindingnya terdapat tulisan berupa angka “1923” yang juga diyakini sebagai tahun pembangunan rumah penjagaan tersebut.
Dari tulisan tahun yang tertera pada kedua bangunan, dapat dikatakan bahwa bak penampung air dibangun terlebih dahulu dibanding rumah penjagaan di sebelahnya. Jarak kedua bangunan ini +/- 4 meter.
Hingga saat ini, Siranda Reservoir masih tetap digunakan oleh PDAM sebagai penampungan air untuk memenuhi kebutuhan masyarakat dengan daerah layanan Simpang Lima dan sekitarnya, Gajahmada, Depok, Kauman, dan Jurnatan. Pipa air dari Reservoir di Kalidoh (Babadan) ke Siranda Reservoir merupakan pipa asli yang belum pernah diganti.
Siranda Reservoir merupakan sebab terjadinya Pertempuran 5 hari di Semarang (15 Oktober 1945 – 20 Oktober 1945), yakni karena adanya desas-desus yang menyebutkan terjadinya peracunan cadangan air di tempat ini oleh tentara Jepang. Untuk memastikan kebenaran desas-desus tersebut, pimpinan Rumah Sakit Purusara meminta dr. Kariadi (saat itu menjabat sebagai kepala Laboratorium Purusara) segera memeriksa kondisi air di dalam bak penampungan Siranda Reservoir. Namun, dalam perjalanan menuju lokasi, beliau beserta rombongan pengawal dicegat dan dibunuh oleh tentara Jepang. Hal ini mengakibatkan kemarahan warga Semarang hingga terjadilah pertempuran antara warga Semarang melawan tentara Jepang.